~4 Wayang

Kayon Sadat
Kebudayaan Indonesia, macam-macam betul! Dan saya, pengagum dari mereka semua. Selalu kalap melihat banyak sekali kebudayaan Indonesia. Tulisan ini, tentang wayang yang merupakan bagian dari kebudayaan.

Sudjarwo mengatakan bahwa Wayang adalah wewayanganing ngaurip (cerminan jiwa dan karakter hidup manusia).

Wayang adalah salah satu pertunjukkan boneka paling terkenal dan berfilosofis menurut UNESCO. Walaupun di dunia banyak sekali bentuk pertunjukkan boneka seperti ini, tapi wayanglah yang jadi nomor satu. Indonesia berbanggalah. Saya sendiri, jika difokuskan maka akan lebih menyukai wayang kayu (golek) dan wayang kulit. Wayang kayu (golek) adalah wayang yang terbuat dari kayu dan lebih banyak dipagelarkan di daerah Jawa Barat. Cepot adalah karakter terkenalnya. Sedangkan wayang kulit lebih kepada bentuk dua dimensinya, dan lebih banyak ditemui di daerah Jawa Tengah, timur, dan Bali. Kisah-kisah dari kedua jenis wayang ini tentu bertutur tentang kebudayaan Hindu dan Jawa. Mahabratha dan sebangsanya.

Heru Sudjarwo dengan lengkap membahas tentang rupa dan karakter wayang purwa di dalam sebuah buku mirip bantal dengan judul yang sama. Saya membaca buku itu selama satu bulan—saking tebalnya—mirip kamus psikologi atau buku-buku Dan Brown. Di dalam buku itu, lengkap sekali penggambaran mengenai wayang purwa, yang merupakan bagian dari wayang kulit.

Ada satu paragraf hangat dan membuat saya belajar dari buku itu. Yaitu dimana kayon, atau tongkat pelayar yang biasa dipakai membuka dan menutup pagelaran wayang diedarkan, dalang biasanya berkata begini,

Pada akhirnya, memang tak pernah bisa jelas dalam waktu yang manakah manusia ketika ia menanggung sengsara atau berlaku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari nasib, waktu sebagai kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di dalam kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya dengan bebas. Tetapi sementara itu, ada waktu sehari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membunuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah waktu ketika manusia menjadi subjek, biarpun sejenak, biar pun tak utuh

Wayang dengan berbagai macam tokoh dan karakter telah mempengaruhi banyak manusia di dataran Jawa dan Bali. Segala aspek kehidupan tentu saja dapat dipelajari dari wayang, bahkan tak segan wayangpun dijadikan media dakwah pada waktu silam. Dan masih dicontoh hingga sekarang.

Atas dasar kreatifitas manusia, maka terciptalah juga wayang orang. Saya lebih senang menyebutnya dengan para pemain opera. Salah satu contohnya, Matah Ati.

Pagelaran Matah Ati di Monas
Matah Ati, pertama kali saya kenal dari sebuah acara televisi World of Wayang yang tayang di Kompas TV tahun 2013 ini. Saya yang menyukai wayang, juga kebudayaan-kebudayaan yang begitu klasik langsung terpesona. Saya gugling, namun tidak banyak informasi. Yang pasti mereka sering menyelenggarakan pagelaran, entah itu di Indonesia maupun di luar negeri. Mereka adalah grup opera jawa paling keren yang saya ketahui. Kabarnya, mereka akan ‘manggung’ di Kuala Lumpur dalam waktu dekat. Dan tiketnya... duuh.

Wayang, entah itu wayang apa. saya menyukainya. saya menyebutnya sebagai hadiah keren dari nenek moyang kita. Mereka cerdas sekali sampai-sampai bisa membuat wayang dengan nama-nama tokoh yang antik, plot-plot cerita yang tidak biasa, dan aura spiri-mistik yang kuat.

Mungkin nanti di rumah, saya akan memajang satu wayang di dinding saya. Siapa yang mau menghadiahi?


Salam hangat dari saya :)

You Might Also Like

16 comments

  1. ooo kalau gitu saatnya ndalang wayang dengan lelakon "Eling" hihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya eling Kok kalau ada yang mau traktir surabi dan mie rebus #kalem

      Hapus
  2. bahkan dalam menyebarkan agama islam beberapa wali juga memakai wayang. dulu di tempat tinggalku pas ada acar pernikahan atau acara-acara adat masih sering ada pertunjukan wayang kulit. tapi sekarang sudah jarang ada lagi. kalah dengan pertunjukan dangdut koplo. sangat menyedihkan.

    BalasHapus
  3. nice post . . .
    salam kenal . . . :D:D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga, kak! semoga nanti ingat yaa namanya siapa #eh

      Hapus
  4. gk pernah liat langsung wayang.., klo di tipi sering.., maklum org Makassar *smile

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Makassar tidak ada wayang ya, daeng?
      barangkali, harus menyebrang dulu ke pulau jawa, biar bisa menonton langsung

      Hapus
  5. dulu wktu kecil sering liat pagelaran wayang kulit hingga semalam suntuk dikampung, hingga skrng masih suka, terlebih alur cerita yg sudah diramu sdmikian rupa dg dakwah islam era sunan kalijaga, seperti kata "wayang" ada kmungkinan dari kata "wachyan" (wahyu) dan masih banyak lagi yg trnyata ada korelasi...siip

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, saya juga pernah membaca beberapa buku tentang penyebaran agama Islam.. kata wayang ini memang kerap disebut berasal dari kata wachyan atau wahyu, wallohua'lam

      Hapus
  6. Saat saya di sunat, saya dapat hadiah dua wayang golek, sampai sekarang masih ada di rumah meski dirusak ponakan.

    Saat ini pun ada Cepot di rumah, dan ada banyak wayang golek di rumah mertua, maklum mertua punya hobi "ngadalang" :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaah keren sekali!
      kapan-kapan saya harus berkunjung ke rumah pak dalang itu.. hehe

      Hapus
  7. kalo sya lebih suka wayang golek mungkin krn faktor asal budaya sya yaitu jawa barat..

    klo wayang kulit ataupun wayang orang mungkin ditinggal tidur aja kali, soalnya gag ngerti bhsnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga orang Jawa Barat, kak. Wayang golek memang mudah dimengerti dan difahami, tapi wayang kulitpun tidak kalah seru. hehe. Dua-duanya keren!

      Hapus