cerita pita
Keseharian
Dimalam Tahun Baru Mereka
Hatiku penuh sesak dengan bentuk-bentuk hati berwarna merah muda. Bukan karena malam ini adalah malam terakhir yang akan aku lewati disaat bumi mengelilingi matahari di akhir hitungan tiga ratus enam puluh lima harinya. Tapi, ada hal lain yang lebih penting dan dari palung hatiku, aku tak peduli dengan malam tahun baru mereka.
Ada seseorang yang tersenyum bahagia dengan tulusnya di dalam cerminku, senyumannya renyah, kornea matanya tenggelam, tertutupi kelopak dan bulu-bulu mata yang berjuntai berhelai-helai, yang terlihat hanya dua buah bulan sabit yang mungil, pipi-pipinya naik hingga menggelembung, terlihat juga lubang kecil di sebelah atas kiri-kanan dagunya, lesung pipit yang sudah terhafal jelas.
Aku memang tak bisa berhenti tersenyum, malam ini adalah malam yang indah, bukan karena ini malam tahun baru mereka, tapi ada hal yang lebih penting. Makhluk berjiwa malaikat itu menusukkan beribu-ribu panah. Hatiku bocor saat ini, darahku berwarna merah jambu. Begitu anehnya, makhluk itu menawarkan tangan birunya untuk membelai dan mengusap perlahan bagian-bagian hitamku, memberiku sebuah buku catatan, setengah terisi,, dan setengahnya lagi kosong. Oh Tidak! Setengahnya bertuliskan namaku disetiap halamannya.
Makhluk itu menelusuk kedalam urat-uratku, melemparkan beberapa bagiannya di dalam otak kananku. Kemudian dia melompat, menginjak diagfragmaku, ngilu. Dia berhenti! Berhenti pada hatiku. Merebahkan sisa raganya.
Aku tahu, inilah kebahagiaan. Aku teramat beruntung dijadikan persinggahan terakhir makhluk itu. Bentuk runyamnya tak kulihat, yang ada adalah malaikat bermata tajam, dengan pakaian putihnya. Dia berhasil merebut hatiku.
Aku tersenyum bukan karena malam ini adalah malah tahun baru mereka. Aku tak peduli perang petasan yang terjadi diluar sana. Aku tersenyum bukan karena malam ini adalah malam tahun baru mereka. Aku tersenyum karena makhluk indah itu.
0 comments