cerita pita
Keseharian
Punyakah Mereka Sebuah Perasaan?
sumber : google |
Sore ini, hujan turun seperti biasa. Menghentak setiap butiran tanah hingga menghambur dengan ketinggian beberapa inchi kemudian jatuh bebas tertarik oleh gravitasi menjadi lembek bercampur air. Peristiwa kecil seperti itu tak pernah dipedulikan khalayak. Hanya aku. Orang aneh dan selalu berbeda, yang dengan penasaran berjongkok didekat kubangan air di pinggir jalan.
Setelah puas memperhatikan gelombang-gelombang kecil yang membelai lembut kerikil hingga membekaskan tanah dibeberapa bagian, aku berdiri. Awan masih senggukan, namun tak menangis lagi. Aku berjalan tanpa payung, menengadah sambil memicingkanmata. Ah! Tidak ada pelangi.
Dari kejauhan, seseorang melambaikan tangan. Tersenyum melihatku, dan aku membalas senyumannya, setulus mungkin. Aku mematung diseberangnya, membiarkan dia menghampiriku. Langkah kakinya menggebrak kubangan air yang tadi aku lihat. Air berhamburan terpecah hingga membentuk kubangan kecil lain. Aku merasa miris. Apakah air merasa sakit saat terinjak seperti itu? Apa mereka menangis saat terpisah dari kelompoknya? Ah! Lagi-lagi, siapa yang peduli? Tapi aku peduli.
Dia sahabatku. Berkerudung abu-abu dengan banyak jarum kecil disekitar kepalanya. Pakaiannya putih dengan rok hitam bergelombang. Aku melihatnya sedikit bingung. Dia memakai payung, tetapi dia masih kebasahan. Sedangkan tangan kanannya, yang memegang payung bergaris putih abu-abu itu mengubah posisi hingga kami berdua terpayungi. Inikah arti persahabatan?
Aku senang. Seseorang yang aku sebut sahabat menunjukan ciri persahabatannya. Dia berceloteh dengan santai tentang harinya kepadaku, sepanjang perjalanan, tanpa menoleh kepadaku. Ya. Memang selalu seperti itu. Begitu juga dengan aku. Kami tak pernah bertatap muka sambil berjalan. Membahayakan. Itu alasannya. Awan menangis lagi, kami mempercepat langkah. Menuju kerajaan. Kaki-kaki kami menginjak air. Merasa sakitkah mereka?
Laptopku basah. Kerudung dan pakaianku juga. Begitu juga dengan sahabatku. Kami merebahkan diri. Aku masih berpikir. Kapankah air merasa basah? Kapan juga mereka merasa kering? Tunggu! Darimana aku tahu air itu banyak dengan mengganti air dengan kata mereka? Dia? Mereka? Pemikiran aneh yang selalu aku punya. Tanpa ada jawaban. Hingga detik ini.
Jika air itu satu. Aku yakin raganya sakit, raganya perih karena terpisah dengan bagian-bagian lainnya. Terpisah sangat jauh, tersebar diseluruh pelosok bumi Rabb ini. Atau hingga Mars? Atau bahkan planet yang serupa bumi di tempat dan waktu lain? Ah! Ya Rabb! Terlalu jauh aku berpikir.
0 comments