cerita pita
Keseharian
kotak ceritaku
Situ Bagendit
tentang angin
Sebuah Nubuat
Situ Bagendit Foto: Koleksi Pribadi |
Jadi. Sore itu lelah sudah menumpuk pada
pundak-pundak mereka. Urat-urat letih sudah menegang pada betis-betis mereka. Perjalanan
ini benar-benar membuat banyak cerita. Juga momen-momen tak terlupakan meski
mereka sudah saling melupakan. Itu sudah dinubuatkan, ucap Landak yang memiliki
berlian diseluruh ujung durinya.
“Kau
ingin ke sana?” tanya Ajelin menunjuk ke arah tengah danau. Huji menggeleng dan
berkata untuk apa. Dia memilih untuk duduk di serambi. “Baiklah. Duduk saja
disini. Aku ingin mengelilingi area ini.”
Ajelin
berjalan, membawa sebuah kamera, memotret cahaya-cahaya, menyimpannya dalam
sebuah gambar. Masih imajiner memang. “Hijau. Dan indah.”
Tak
banyak yang bisa mereka lakukan, dengan reraga yang meregang. Ajelin sudah
lapar, ingin pulang. Huji mengiyakan. Dan mereka melewati sebuah gerbang,
menuju parkiran.
Laju
mereka menembus deru angin yang memburu malam. Hujan, dengan tak sadar
mengirimkan air-airnya. Suatu saat, mungkin mereka akan melewati sepanjang
jalan itu lagi. Jalan dimana mereka sudah tak tahu tentang apa yang harus
diceritakan. Mungkin mereka akan melewati jalan itu. Masing-masing. Sendiri atau
dengan yang lain.
Jalan
itu. Jalan dimana kata tak lagi menjadi sebuah hal yang penting. Bahwa semua
gerak menjadi lebih berarti, bahkan ketika hanya dilihat dalam temaran lampu
jalan.
4 comments
Ya, Pita sedang menapaki sebuah jalan hari ini. Jalan dimana kata tak lagi menjadi sebuah hal penting. Tergantikan oleh doa-doa. Semoga mampu menerangi jalan-jalan yang sedang dan akan ditempuh. Semoga semua gerak, menjadi penuh arti. Semoga ridhoNYA, senantiasa menjadi yang utama. :)
BalasHapusAamiin, kak Arya :)
Hapusterima kasih
heummmm...jadi melow nih ^_^
BalasHapusSemoga proses berjalan ke depan semakin laju...baarakallah fi umrik ^_^
Hihihi :)
HapusAamiin
Terima kasih, Mbak Hann