Merentas isi kepala

Hujan terus saja mengecup mesra dedaunan lavender dan rosemary di depan pintu. Tetesnya mengelayut manja pada batang hijau kemayu kemudian turun hingga tanah, meresap, meresap melewati gelapnya tubuh pot dan merayap di tanah. Sebenar-benarnya tanah. Mengalir pelan dan bersatu bersama tetes lain yang melompat dari genteng, juga dengan ribuan kawannya yang terjun dari langit.

Mereka bahagia. Membawa pesan Tuhan untuk kita __ sebenarnya aku ___ yang duduk menopang dagu di dekat tiang tua berwarna coklat. Sedari tadi mereka mencubit-cubit lembut pipiku. Meloncat nakal di atas hidungku dan merayap hingga kakiku.


Akhirnya aku menjulurkan kaki menikmati dinginnya mereka. Kabut sudah turun bersama angin yang berlari. Malam ini tak ada sang ratu. Bulan  terlalu malas untuk melihatku disini, padahal aku ingin mengatakan sesuatu padanya. Mungkin lain kali.


Hampir seribu delapan ratus detik aku menemani mereka mengobral rahmat. Dan tiada hentinya mereka melempar-lempar karunia. Aku jemu tapi mereka tidak. Andai aku jadi mereka, bagaimana rasanya? Pasti sakit ketika harus menjatuhkan diri pada onggokan benda padat yang bisa saja tak kaya unsur hara yang melembutkan. Atau bahkan jatuh pada batu. Tak dapat kubayangkan.



You Might Also Like

6 comments

  1. Kata-kata menyiksa Mbak :D

    BalasHapus
  2. Saya ngga ngerti maksudnya :D
    tapi bagus ya..
    Hujan itu indah dan memang rahmat, Mbak.

    BalasHapus
  3. Sebuah prosa yang romantis, Mbak Fitri. :)

    BalasHapus
  4. Terima kasih atas apresiasinya, teman-teman ...

    BalasHapus
  5. wah kalo saya baca ini jadi ikutan geli negbayangin ada yang merembet dan mencubit-cubit. hahaha..

    BalasHapus
  6. saking indahnya hujan pak . hehehe

    BalasHapus