Pemain Biola dikala Hujan

from Mbah google

Siang ini, saat aku keluar dari ruang kuliah, aku menghampiri jendela. Mengusap embun yang mulai tampak pada kacanya. Dingin. Kulihat langit yang cemberut dan sepertinya bersedih. Padahal baru saja aku menyelesaikan presentasiku dengan sangat baik. Tapi muramnya langit memang berbanding terbalik dengan perasaanku sejak kemarin malam. Ah, langit memang langit, bukan perasaanku.
Dan menangislah langit, aku menerobos tetesannya yang semakin lama semakin banyak. Membasahi setiap daun-daun yang hampa dalam kekeringan setelah sekian lama angin kemarau mengombang-ambing helaiannya.
Sepatuku sudah tak ada bagian yang keringnya lagi, malah ditambah tempelan-tempelan lumpur hingga kaos kaki. Aku berlari sambil menunduk, menyembunyikan tas yang berisi laptop yang harus aku lindungi karena memang bukan milikku. Pakaianku basah, ah payah. Berlari saja sudah lelet.
Aku berhenti sejenak di bawah pohon dipinggir jalan, bersama teman seorang perempuan. Memperhatikan orang-orang yang belari. Ada juga yang memakai payung, menantang guyuran hujan. Aliran air yang cukup deras meluncur sepanjang jalan, membuat suara indak dengan gemericik dan angin-angin.
Aku melihat dia.
Untuk kedua kalinya.
Selalu disitu. Di tempat yang sama. Berdiri tegak diusianya yang sudah tak dapat berdiri dengan tegak. Topi koboiny sedikit miring dikepala. Pakaian safari yang ia kenakan sama seperti yang aku lihat dulu. Hanya lebih lusuh dan kotor, mulai basah dengan tetesan tangisan langit siang ini.
Tangannya lincah memainkan biola, lagunya sendu. Aku ingin menangis. Orang-orang berlalu begitu saja didepannya. Tanpa peduli dengan laki-laki yang mulai lelah menggesek biola.
Lelaki itu masih saja menggesek biola. Aku ingin membantu. Tapi apa arti lembaran uangku? Dia butuh lebih dari itu. Aku ingin menangis. Tapi aku harus pergi. Aku sadis. Aku meninggalkan pemain biola itu.
Aku ingin menangis, tapi siapa aku?

You Might Also Like

2 comments