Fiksi: Anjani dan Iqbal

Ilutrasi : Anjani dan Iqbal
(sumber)
Pagi ini, rumah sudah riuh dengan suara teriakan. Aku yang masih berselimut di kamar, mencoba melupakan suara-suara itu. Tapi semakin lama sepertinya semakin keras. Lalu tiba-tiba terdengar tangisan.

Aku menuruni tangga dan mendapati Jani sedang menangis di ruang tivi. Aku menghampirinya lalu bertanya, “Kenapa, dek?” Jani tak menjawab. Dia hanya menunjuk kepada seorang anak laki-laki yang sedang bermain kereta api di karpet biru.

“Bang Iiq, Dek Jani kenapa nangis?” tanyaku lembut.

Iqbal hanya mengangkat bahu, tanpa memandangku. Duh, dua bocah ini. Bathinku.

Anjani dan Iqbal adalah adik kembarku. Mereka berusia lima tahun. Meskipun begitu, keluarga kami membiasakan untuk memanggil Iqbal dengan sebutan abang, karena dia lahir tiga menit lebih dulu dibandingkan Jani. Badan mereka sehat-sehat, Jani tumbuh cantik dengan rambut sebahu dan mata yang indah berbinar. Sedang Iqbal beralis tebal dengan lesung pipi di kiri kanan pipinya. Kalau mereka tak bersaudara, mereka serasi sekali di masa depan.

“Dek Jan.. udah nangisnya. Main lagi sama Bang Iq, ya.” Rayuku sambil mengusap rambutnya.”

Jani menggeleng. Aku mengatakan bahwa dengan saudara itu tidak baik bertengkar. Lalu Jani berkata, “Kak, Ri! Bang Iq galak sekarang. Mainnya ngga mau sama Jani. Jani ditinggalin sendiri.”

Jani kemudian melanjutkan tangisannya. Sementara Iqbal, yang sudah pasti mendengar ucapan Jani tetap diam dan tak mau melihat kami.

“Memangnya begitu, Bang Iq?” Tanyaku.

Tak ada jawaban.

“Bang Iq jeleeeeeeeeeeeeek!” teriak Jani. Aku kaget mendengar teriakannya. Dan sepertinya, Iqbal sudah panas diteriaki begitu. Ia kemudian berbalik badan dan menghampiri aku dan Jani.

“Abang kan juga pingin main sama temen. Jani mana bisa main bola.” Teriak Iqbal.

“Jani bisa kok.” Bisik Jani.

“Tapi kalau kena bola, Jani nangis. Abang mainnya keras-kerasan, tau.” Sahut Iqbal. Aku menahan tawa, karena aku membayangkan seperti apa main keras-kerasan itu.

Iqbal kemudian melanjutkan ucapannya, “Nanti juga kalau udah selesai main sama temen-temen, abang main sama Jani. Jani tungguin aja.”

“Tapi Jani kan kalau main suka ngga bisa bikin rumah-rumahannya. Abang yang bisa. Jadi Jani mau main sama abang.”

“Ih, Dek Jani.. Bang Iq. Udahan. Cuuup. Udahan yaa. Ngga bagus teriak-teriak. Nanti cepat lapar.” Ucapku. Aku sendiri bingung melihat kondisi seperti ini. Duh, anak kecil kok bisa bertengkar begini.

Tapi beberapa menit kemudian, ketika aku meninggalkan mereka untuk membuat pancake, mereka sudah bermain seperti biasa. Mereka sudah tertawa bersama kembali. Begitulah anak kecil.

You Might Also Like

4 comments

  1. Waaah, seru ya :)
    Cerita yang hampir mirip dengan masa kecilku, Pit.
    Dulu aku ditinggalin main kelereng sama abangku.
    Soalnya dulu sih aku gak bisa main kelereng. Ahahah
    #curcol :D

    BalasHapus
  2. masa kecil itu menyenangkan ya, kak! :)

    BalasHapus
  3. Ilustrasinyaaaa pit, menggemaskan :D aaih aku jadi ingat masa kecilku, dengan abangku :""") yaah begitulah anak-anak. aaih kita sudah bukan anak-anak lagi yaah hha

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha.. iya ya. kita sudah bukan anak-anak lagi puut.. sekarang jadi rindu masa-masa seperti itu. apalagi yang punya kakak. pasti senang sekali ya bermain bersama kakak

      Hapus