akai ito
aku dan kau
angin
cerita pita
i am wind you are fire
kehidupan
keimanan
pengalaman
perjalanan
gulungan(cerita)pita: Langit Berujung Jendela
Koleksi Pribadi: Senja di Limbangan, Garut |
Apa yang biasa kau lakukan, ketika senja menyapamu
dengan sentuhan hangat cahayanya? Seperti aku-kah? Duduk di depan pintu dan
menatap langit hingga berujung pada sebuah jendela satu kaca? Tempat kau
membuka dan menutup tirai. Kala pagi dan senja.
Kali ini, aku ingin mengisahkan sebuah perjalanan
hingga aku selalu duduk di sini. Terkadang, banyak suara-suara yang tak merdu
justru yang membuat hati tenang. Membuat telinga ingin kembali melahap beberapa
decibel gelombang. Ketika itu, aku baru saja duduk pada salah satu kursi
kereta. Kereta sore memang tak terlalu banyak penumpang, kecuali aku terlambat
sedikit saja sehingga harus berdesakkan dengan karyawan dan pedagang.
Aku duduk pada kursi berbusa berlapis kulit tipis
berwarna putih. Matahari belum mau surut, cahayanya menyapa melalui jendela
satu kaca. Sebuah layangan bergoyang perlahan bersama angin. Kukerjap-kerjap
mataku, penasaran dengan pemilik ujung benang. Adalah seorang anak kecil
memakai kaos berwarna coklat muda, terlihat kusam bercampur lumpur.
Dia seperti dia. Dia seperti dia. Dia seperti dia yang
selalu pulang terlambat sampai ibunya berteriak khawatir. Aku selalu mendengar
suara itu, lalu sesaat setelahnya disusul sebuah tangisan. Bajunya kotor,
sandalnya kotor, kaki dan tangannya tergores benang dan rumput liar. Setiap
senja, tak pernah terlupa. Dia yang selalu membuka dan menutup tirai.
Hingga suatu ketika, sebuah momen meredam teriakan
khawatir itu. Sebuah momen mampu menenggelamkan tangisan. Hilang sudah babak
senja itu, namun tak pernah terlupa. Dia yang selalu membuka dan menutup tirai.
Aku duduk di depan pintu, menikmati angin beraroma
humus, juga bau lavender. Memandang langit yang berujung pada sebuah jendela.
Jendela berkaca satu. Dan kau muncul. Dia seperti dia. Kau seperti dia. Dan kau
memang dia. Mendorong sendiri kursi roda, dan menutup tirai.
18 comments
senja berujung jendela, subhanallah :')
BalasHapuslayanganm jadi inget waktu kecil saya dulu.
persis dalam cerita ini. :D
Senja yang selalu membuat ingin melihat jendela...
HapusWah, pak, saya juga dulu senang bermain layangan hingga langit menjingga..
heummm,,,cantik kata2nya....banyak kata tentang senja :D
BalasHapussecantik bunda han kok, bun :D
Hapusbagus bangett mbaa susunan kata katanya.. hehehe...jadi ini cerita nyatakah ?? cerita fiksikah ?? salam untuk dia ya... yang tak berhenti membuka dan menutup tirai walau dari kursi roda..
BalasHapusselaamat makan siaang
terima kasih Meilya :)
HapusInsha Allah ini hanya fiksi kok.. hehehe
Ibu, selalu menjemput di kala senja. Selepas aku bermain. Meski kotor, berdebu, kucel, ia senantiasa menyambutku dengan senyumnya. Mungkin kenangan itu pula lah yang begitu melekat di hati ibu, hingga sampai sekarang ia tetap setia di sana. Menutup tirai di kala senja. Di balik jendela berkaca satu yg penuh kenangan. Sembari merindukanku, yang sedang disibukkan dengan kehidupan baruku.. di sana, di belahan kota yang lain..
BalasHapusIbu, selalu memberi cinta yang tak kenal lelah ya Pita. :)
Aiih.. aku jadi kangen ibu mas..
HapusSaya juga sempat memilih template ini untuk rencana blog yang satu lagi.. Untungnya udah ganti, ternyata ada yg mirip. :D
Hapuswah kak arya, kalau kak arya pake template ini juga.. kembaran blog kita :D
Hapusjangan yaa .. hehe
menariik artikelnya :) salam kenal yaaaa
BalasHapusterima kasih ya (:
Hapusmenikmati senja dibalik jendela kaca dan mengulang semua tentang dia, tepatnya mengulang semua cerita masa laluku.
BalasHapussiapakah zie ini?
Hapussalam kenal zie... (:
mohon maaf ya kalau cara bertamunya kurang sopan, tadi tuh lagi ada waktu luang untuk baca-baca, karena lebih suka membaca yang berirama fiksi ketemulah blog ini :) jadi ke asikan bacanya hehe...
Hapustidak apa-apa.. Saya senang ada yang berkunjung ke kotak cerita saya.. (:
Hapusitu pohonnya kok lucu ya Tante???
BalasHapusPohon itu ada di sekitar daerah Limbangan, Dija. Indah sekali
Hapus