Cerita Ramadhan #5: Belajar dari Rumi

Bismillah
cover buku dari sini
Cerita ramadhan di hari kelima adalah tentang seseorang. Kalian pasti telah mengenalnya. Saya sebut beliau guru saya. Salah satu guru saya. Namun, saya tak punya banyak rasa optimis ketika ditanya apakah saya pantas menjadi muridnya.

Rumi. Kalian mengenalnya? Beliaulah Jalaluddin Rumi. Kali ini saya tidak akan memperkenalkan beliau secara dalam. Kalian dapat membacanya bukan di sini, tapi disini, disini, atau disini.

Rumi selalu tentang cinta. Cinta terhadap
suatu hal. Dan kata-katanya memukau. Selalu rumit, apalagi jika sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Dan hari ini, dari beberapa buku yang saya baca. Ada satu ungkapan yang saya untai sendiri. Mungkin ada seseorang disana, atau sekelompok orang yang pernah mengungkapkannya. Dengan kata-kata yang persis, atau mungkin dengan ujaran lain. Tapi dengan tiba-tiba saya ingin menuliskan hal ini :

Ketika cinta itu telah diungkapkan. Hakikatnya bukan lagi cinta, melainkan kesombongan.
Entah mengapa, saya merasa cinta tak perlu diungkapkan. Pembuktian adalah hal yang paling romantis. Itu cinta menurut saya untuk waktu sekarang. Semoga selalu ada jalan untuk memperbaiki diri hingga akhirnya kutemukan arti sesungguhnya. 

.

You Might Also Like

21 comments

  1. Benar!
    Karena dua orang yang sedang dimabuk cinta biasanya akan saling mengerti saja begitu mudahnya.

    Lalu, buktikan. Tak perlu lama-lama berpacaran atau sekalian jangan. Langsung saja ke orang tuanya. Itu pembuktiaan yang paling tinggi rasanya...

    BalasHapus
  2. enya ukh bnr. haa. kumaha atuh lah? (naon cenah?)

    BalasHapus
  3. salam kenal... :D
    kesimpulannya,buruan dibuktikannnn hehehehe

    mampir mbk http://akizeyek.blogspot.com/2012/07/perempuan-dengan-pena.html

    BalasHapus
  4. cuuuuwiiiiwit! berbicara tentang cinta memang banyak beragam pendapat =D

    BalasHapus
  5. saya pribadi satu hal setuju dalam hal lain juga kurang sependapat.
    secara hakikinya cinta memang tdk penting untuk di ungkapkan, tetapi secara syar'inya tetap harus di ungkapkan.
    misal membaca dua kalimat syahadat secara hakikatnya sebagai bentuk mahabbah kepada Alloh dan kecintaan kepada Rasulullah, tpi tetap harus di ucapkan secara lisan bagkan di backsound blog ini didendangkan...
    jika bersyahadat sebagai bentuk kesombongan saya sangat tidak sepakat, karena memaknai Islam tdk cukup dengan rasa dlm qalbu tapi juga dengan nalar dan logika

    tapi ini pendapat pribadi loh, kalau salah mohon diluruskan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya juga berpikir bahwa salah satu cara pembuktian itu adalah dengan mengucapkannya mas..

      Perlu banyak belajar lagi ^_^

      Hapus
  6. kalau cinta gak di ungkapkan bisa jadi tindakan pembuktian yang kita maknai sebagai cinta ternyata bukanlah cinta tapi sekedar kepura-puraan....
    #pengalaman pribadi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. hm.. begitu ya
      mari kita lebih banyak belajar lagi. Jadi harus seperti apa sebaiknya

      Hapus
  7. Balasan
    1. ichan sugoii sugoii aja ih
      #muter-muter telunjuk di telapak tangan

      Hapus
  8. Rumi dan Puisi, salah satu minat yang tertunda :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. wah mbak... baca rumi menyenangkan lho.. ^__^

      Hapus
  9. Hmm .. kalau diungkapkan kira2 ada unsur "keakuan" di dalamnya: "AKU CINTA PADAMU". Seakan2 sang pencinta ingin diakui perasaannya oleh orang yang dicintainya. Lama kelamaan bisa membawa kepada sifat sombong karena lama kelamaan ia menganggapnya sebagai hak milik. Lihat saja banyak orang pacaran yang mulai mengatur pacarnya, misalnya.

    Entah ya .. mungkin begitu ...

    BalasHapus