Foto: Koleksi Pribadi Menulis. Aku berhenti dulu. Aku ingin berlatih perlahan untuk mengakhiri yang lain.
Ilustrasi Foto: Koleksi Pribadi |
Assalamu'alaykum.
ini cerpen pertama yang pita posting. Karya lama yang diedit lagi.
Setelah selesai baca, minta saran untuk judulnya ya..
Terima kasih banyak (:
“Oh, hai Fer.” Sapaku tiba-tiba ketika kau berjalan
melewatiku. Sebenarnya, sapaan ini telah aku persiapkan. Aku bahkan menunggumu,
menghitung kemungkinan-kemungkinan tentang kapan kau akan datang ke kelas, dan
berjalan masuk melewatiku.
“Oh, hai, Va. Kamu perwakilan kelas juga?”
“Iya, aku didelegasikan.” Jawabku tenang.
“Ngga beruntung banget ya kita. Harusnya pulang malah
ikutan rapat begini.” Ucap kau sembari tertawa. Aku tersenyum sambil
mengangguk. Sebenarnya, aku malah senang menjadi perwakilan kelas untuk rapat
persiapan festival sekolah ini. Aku tahu kau pasti terpilih sehingga kita akan
bertemu dalam satu ruangan, setelah sekian lama.
“Kursi depanku kosong.” Ucapku. Kau mengerti, lalu kau
duduk di depanku. Sebelah kiri kau dan aku adalah jendela, jendela kelas di
lantai tiga.
“Hei, buku terakhir yang kau pinjami isinya bagus.” Aku mengawali
perbincangan.
“Buku dr. Seuss?”
Kau bertanya. Kepalamu menghadapku sekarang. Aku mengangguk.
“Ya. Dan maaf. Belum aku kembalikan.”
Kau tersenyum. Seperti biasa, kau selalu ramah. Kepada siapapun.
“Ngga papa. Aku ada buku baru, Va. Dari Stein.”
Korneaku membesar. Aku antusias dengan buku barunya. “Benarkah?
Boleh aku pinjam?”
“Tentu. Lain kali aku bawa.” Ucapmu. Kepalamu menghadap
jendela sekarang.
“Oke. Tapi aku harus mengembalikan buku dr. Seuss dulu ah ya.” Ucapku. Aku membuka
buku catatanku dan menuliskan judul buku yang kupinjam supaya aku ingat untuk
mengembalikan. “Fer, tapi bagus ngga isi buku Stein? Terakhir aku baca, akhir ceritanya benar-benar menggantung. Aku
tak suka cerita begitu.”
Tak ada sahutan.
“Kamu mendengarkanku?” Tanyaku.
...
Beberapa detik kemudian telunjukku kusentuhkan pada
bahumu.
“Eh. Ya, va?”
“Kamu mendengarkanku?” Ulangku.
“Bisa kau ulang, va?” Pintamu. Aku kemudian mengulang
semua ucapanku. Tentang isi buku Stein yang
akhir ceritanya menggantung. Tapi sepertinya kau memang tidak mendengarkanku.
“Oke, pokoknya nanti kamu baca. Aku bawa lain kali.”
Ucapmu. Aku tak berkata lagi. Hanya mengangguk perlahan dan menghentikan
perbincangan ini. Kau tetap menghadap jendela. Bahkan kali ini, kau menumpuk
telapak tanganmu dan menempatkan dagu di atasnya.
Aku penasaran akhirnya. Apa yang sebenarnya kau lakukan.
Aku memandang jendela dan melihat ke bawah.
Di bawah sana, seorang perempuan berseragam sama seperti
kau dan aku tengah duduk di bangku taman sekolah. Di bawah pohon kersen yang
teduh. Perempuan itu sedang membaca buku. Di samping kirinya, aku lihat dua
kotak jus kemasan mengeluarkan keringat. Di dekatnya, ada juga tas sekolah
berwarna biru muda.
Aku beralih padamu. Kau masih melihat perempuan itu. Sambil
tersenyum sekarang. Kau berkedip lambat sekali, seperti takut kehilangan momen.
Aku pikir aku ingin segera memulai rapat.
~~~
“Va, bareng?” Tanyamu. Aku menggeleng, dan kau pun
berlalu. Menjauhiku dan menghilang di balik pintu.
Aku masih duduk di dekat jendela. Tempat dudukmu tadi
terisi udara murung sekarang. Aku masih memandang ke arah bawah. Perempuan tadi
masih membaca buku. Sepertinya sudah teramat asik sehingga lupa waktu.
Kau. Sahabatku yang telah dekat sedari sekolah dasar. Aku
seperti saksi sejarah hidupmu hingga kita berseragam putih abu sekarang. Aku
tahu tentang keseharianmu, favoritmu, apa yang kau benci, dan
kebiasaan-kebiasaanmu. Awalnya aku memang hanya tahu, namun waktu berjalan dan
semua hal itu menjadi hadir dalam kehidupanku. Aku ingin melakukan yang kau
lakukan. Hingga aku membaca apa yang kamu baca.
Ada sebuah rahasia kecil yang kini aku tahu, menjadi
sebuah awal dari kita yang semakin menjauh. Tapi aku tak pernah mau meninggalkanmu,
bahkan ketika kau mengatakan bahwa kau menyukai adik kelas kita sewaktu SMP. Juga
ketika kau berjuang hingga jatuh berulang untuk mendapatkan perempuan SMA
sekolah lain. Itu hanya mengukir sedikit sakit saja di dadaku.
Ah sudahlah. Aku tak mau membicarakan sesuatu yang
terlalu membuatku ingin bungkam. Aku hanya ingin menikmati semua ini saja. Juga
menikmati kesendirian ini. Di ruangan kelas, di lantai tiga, selepas kau
menghilang di balik pintu.
Aku masih memandang ke taman sekolah. Kali ini ke arah utara.
Ada banyak bunga berjejer mengelilingi air mancur kecil di tengah taman. Kerikil
sengaja dibuat berserakan di bawah rimbunnya rumput peking yang hijau, juga dua
pohon bidara yang tak berbuah. Pengamatanku berhenti. Aku melihat sosokmu.
Kau berjalan menuju taman sekolah. Menggendong tas hitam
yang penuh buku. Aku pikir kau akan segera pulang, tapi pikiranku salah. Kau menghampiri
perempuan yang sedang membaca. Terlihat seperti menyapanya. Perempuan itu
tersenyum dan menutup bukunya. Mengambil tas berwarna biru, dua kotak jus kemasan
dan mempersilahkanmu. Kau duduk di sebelah perempuan itu. Dengan lembut, kau
diberi jus kemasan olehnya. Kau menerimanya, meminumnya dan berkata. Entah apa.
Ini adegan kesekian yang kulihat. Aku sudah terbiasa.
Ilustrasi Foto: Koleksi Pribadi Assalamu'alaykum. ini cerpen pertama yang pita posting. Karya lama yang diedit lagi. Setelah se...
Cahaya seakan membelah danau, melipat kabut pagi. |
Pagi
turun perlahan dari puncak wayang. Setapak di bawahnya diam berselimut dingin.
Kali ini matahari terlambat. Binar-binarnya tak terlihat menguning di balik hutan-hutan
pinus. Semalam, hujan turun tak berujung hingga suara jangkrik mengering.
Rerumputan di sekitar tenda masih basah melembab, meninggalkan jejak pada
setiap langkah kaku menuju danau.
Malam
tadi, tak kuasa raga beranjak dari kantung tidur. Setiap sela-sela zipper tenda
tertutup rapat, mengunci udara dari dalam. Malam kedua setelah satu malam yang
memukau di puncak Wayang. Malam tadi kami terpulaskan di bibir danau selepas
angin sore meredup berganti hujan rintik yang menderas.
Cisanti,
hulu Citarum yang tak mempertontonkan kuasanya. Jauh di sana, sering kulihat
alunan sungai membesar dengan air tak terbendung. Diperbatasan Bandung dan
Cianjur. Bahkan membanjiri sebagian tanah rendah di kota sana. Di sini,
yang ada hanya ketenangan. Tujuh mata air seakan bungkam tentang berjuta-juta
kubik yang mereka muntahkan. Mereka hanya mengalunkan keindahan. Memesona mata
yang melihat keanggunan tarian gelombangnya.
Inginnya
kutelusuri. Dari mana muasal Citarum menjadi cemar. Di hulu sini, air teramat
cantik membening. Danaunya memantulkan wajah-wajah sumringah sekawanan anak
manusia yang bersemangat.
Gunung
Wayang, Situ Cisanti. Mengenangmu tak perlu waktu. Bahkan aku telah menulismu
sebelum tinta-tinta mengotori kertas. Suatu hari, aku ingin kembali.
Dari kiri: pita, Tanty, Iza, dan Rezko. dalam pendakian menuju puncak wayang. Foto: Koleksi Pribadi |
Kami di puncak wayang. Hari kedua. Foto: Koleksi Pribadi |
Hari ketiga di Situ Cisanti. Foto: Koleksi Pribadi |
Cahaya seakan membelah danau, melipat kabut pagi. Pagi turun perlahan dari puncak wayang. Setapak di bawahnya diam berselimut di...
Kotak Berisi Air dan Kehidupan Foto: Koleksi Pribadi |
Aku punya sebuah kotak di ruanganku. Setiap hari selalu
menyilaukan warna biru dalam diamnya. Hakikatnya, bentuknya memang tak
benar-benar kotak. Terisi air dan kehidupan di dalamnya.
Sekitar empat bulan yang lalu, seseorang telah
menempatkan kotak berisi air dan kehidupan itu di bawah jendela. Ada perasaan
takjub kala pertama melihat bentuknya. Perasaan seperti seorang anak kecil
mendapat mainan baru. Sulit rasanya untuk tidak mengerjap-ngerjap tidak
percaya. Antara senang dan tidak sabar.
Beberapa kehidupan menari-nari di dalam kotak berisi air
itu. Mulanya, ada yang berwarna kuning, namun kemudian terpupus dan
tergantikan. Hingga akhirnya, lima ekor ikan berwarna putih terus berputar,
berenang, dan bergerak. Juga seekor ikan sapu sebagai penjaga.
Kotak berisi air dan kehidupan ini, seringnya terlupa
untuk dipelajari. Aku hanya menonton mereka dari luar tanpa pernah merasakan
mereka. Kadang, ingin juga aku melepas mereka ke sungai atau suatu tempat yang
lebih luas dibandingkan kotak ini. Seseorang juga pernah berucap begitu. Dan ini menambah semangatku untuk membiarkan
mereka pergi.
Tentang kepergian. Apakah memang akan selalu menjadi
jalan terbaik? Terkadang, tetap bertahan adalah hal yang harus dilakukan.
Bertahan dan menata kembali butir-butir memori tanpa pernah merasa bosan untuk
berbuat lebih.
Umpama aku melepaskan mereka, membiarkan mereka pergi.
Tentukah mereka akan menemukan makanan yang setiap senja kutaburkan? Tentukah
mereka akan dapat terus hidup? Atau seharusnya aku tetap genggam mereka.
Menetapkan mereka di dalam kotak berisi air dan kehidupan. Karena, tahu saja
mereka memang tertulis untuk menjadi pengisi kotak berisi air. Berputar,
berenang dan bergerak sepanjang alunan detik. Karena, tahu saja kita memang
tertulis untuk bertemu dan selalu bersama. Itulah mengapa aku takkan melepas.
Terbaiklah menurutku. Juga kuasakan menjadi terbaik menurut sang Maha.
Kotak Berisi Air dan Kehidupan Foto: Koleksi Pribadi Aku punya sebuah kotak di ruanganku. Setiap hari selalu menyilaukan ...