Celoteh Diri Kala Petang

Sore ini begitu manis. Aku tak berniat keluar kamar dan menuruni tangga hijau di depan sebelah kanan pintu. Tapi pintu kubiarkan terbuka hingga angin masuk meski tak kupersilahkan. Gerakannya membuatku ingin tidur. Tapi sebentar lagi panggilan shalat akan menggema. Berteriak-riak melalui speaker.

Rosemaryku sedang menari, kutatap lembut, dan dibalas dengan semerbaknya yang lezat. Dia menari bersama lavender. Empat pot itu terlihat kompak dan riang. Bersama denganku menatap jendela kamar hotel diseberang yang memantulkan sinar jingga kemerahan. Karena kaca itu, aku dapat menikmati sinar mentari tenggelam. Ya, bersama keempat pot rosemary dan lavender.

Sedikit penasaran, aku melangkahkan kakiku menapaki teras keramik putih yang kaku dan dingin. Sudah lama tak kutapaki. Aku duduk pada tepiannya, bersebelahan dengan si empat pot. Aku mulai merajut kembali. 


Rajutanku masih belum berbentuk. Warna hijau dan putihnya bercampur serasi. Kukaitkan sumpit kayuku pada sebuah lingkaran benang lalu kubawa lingkaran lain melewatinya dan meninggalkan sumpit lama menuju tambatan sumpit baru. Kuulangi ratusan kali. Mungkin ratusan kali yang akan datang aku akan tetap melakukannya.

Ini adalah sebuah penantian. Desir angin dan sinar matahari adalah saksi. Ah iya. Keempat pot didekatku juga protes ketus ingin dijadikan saksi. Aku merajut dalam sebuah penantian. Penantian yang menyenangkan. Aku tahu, dia sedang mempersiapkan segalanya. Mungkin dia sedang bergegas menuju masjid untuk shalat magrib berjamaah, atau malah sudah bermurotal. Hm.. atau dia sedang menyiram tanaman didepan rumahnya. Atau sedang mengasuh sepupu-sepupunya. Atau sedang menulis.

Aku harap dia tengah memperbaiki diri. Begitu juga dengannku. Aku ingin selalu memperbaiki diri. Agar menjadi perempuan yang baik. Sehingga pada akhirnya aku menjadi makmum seorang imam yang baik pula. Dan penantian ini tak akan kusesali dan tak akan sia-sia.

Ini manis. Aku tersenyum sendiri. Sepertinya empat pot didekatku sedang cengengesan melihat tingkahku memegang rajutan sembari melamun. Aku melirik kepada mereka,, dan mereka pura-pura diam. Hanya menari-nari dibuai angin.

Sebuah penantian ini entah sampai kapan. Tapi aku menikmati setiap detik yang terlewatnya. Nikmat itu terasa begitu indah ketika aku tahu tak semua perempuan mendapatkan kesempatan. Aku harus terus memperbaiki diri selagi aku dalam sebuah penantian.

Kurasa cukup. Aku berdiri dan masuk kamar kembali. Membuka mushaf dan mulai membaca. Semoga kami membaca surat yang sama.

tertanda,


Gulungan pita

You Might Also Like

9 comments

  1. Ya, tidak ada yang tau sampai kapan penantian itu..
    Namun, tersenyumlah, nikmatilah, hingga ke tiap detiknya.
    Karena, ketika do'a itu terjawab, engkau kan tersenyum mengenang kembali sore yg manis itu,
    Bersama sang imam yg dihadiahkanNYA untukmu, dan hanya untukmu..

    BalasHapus
  2. Fitrii..suka deh sama tulisannya..
    Smoga Allah memprtemukan kalian dalam keadaan yang baik dengan cara yg baik pula..aamiin..:)

    Insya Allah kesabaran itu akan berbuah indah pada waktunya.. :)

    BalasHapus
  3. ceile... fitri...
    semoga selalu bersabar dalam penantian yang indah..
    :)

    BalasHapus
  4. susunan kata-katanya bagus terangkum dalam sebuah doa... atau sebaliknya yaa?? Semoga penantiannya cepat berujung pada kebaikan...:)

    BalasHapus
  5. @ mas Arya, Aamiin ... Terima kasih ya. Saya menyukai kalimat ini : "Bersama sang imam yg dihadiahkanNYA untukmu, dan hanya untukmu" Mas penganut monogami ya ;)

    BalasHapus
  6. @ Mbak Phipi, wah terima kasih mbak atas kunjungannya :)
    aamiin ya Robb Aamiin

    @susie Ncuss [cahaya langit] , Terima kasih ya Mbakku ^_^

    BalasHapus
  7. @ Mas Sam ... hmm.. terima kasih ya .. dibalik juga boleh :D

    Aamiin :)

    BalasHapus
  8. Insya Allah sebentar lagi ketika waktunya tepat dengan seseorang yang tepat :)

    BalasHapus